Posted by Unknown at 7:34 AM
Read our previous post
Mafia Jepang Yakuza diketahui sudah merambah ke Indonesia. Mereka melakukan pencucian uang dan menginvestasikan dana haram mereka pada beberapa perusahaan. Uangnya didapat dari bisnis mereka di Jepang, di mana bisnis seks menjadi salah satu andalan mereka.
Mereka mengoperasikan sejumlah rumah bordil, panti pijat dan produksi video porno.
"Dunia pelacuran banyak yang dikelola para Yakuza. Mereka bisa berkembang karena memang banyak permintaan dari kalangan pria di Jepang," kata Richard Susilo penulis buku 'Yakuza Indonesia' terbitan Kompas tahun 2013.
Keuntungan dari bisnis seks ini sangat menggiurkan. Apalagi seringkali Yakuza seenaknya pada para pelacur yang dipekerjakannya. Mereka tak menggaji wanita-wanita malang ini dengan layak dan memeras tenaga.
"Pelacuran adalah portal uang Yakuza, selain judi, narkoba, dan pencucian uang," kata Richard.
Silakan intip gurita bisnis seks mereka. Tapi ingat, hati-hati berurusan dengan Yakuza. Salah-salah nyawa bisa melayang.
1. Pelacur anak dan remaja
Banyak lelaki Jepang sangat menyukai anak-anak kecil yang biasa
mereka sebut loli. Tarif paling murah sekitar 20.000 yen atau Rp 2 juta
per jam.
Jelas pelacuran anak dan remaja melanggar hukum. Pelakunya dijerat dua pasal sekaligus UU antiprostitusi dan UU kesejahteraan anak. Usia dewasa di Jepang adalah 20 tahun.
Mengutip koran Nikkei, Richard menuliskan seorang gadis berusia 17 tahun harus melayani sedikitnya lima lelaki hidung belang yang menyukai anak kecil dan gadis remaja, setiap harinya.
Pelacuran anak di bawah umur ini sering disebut enjokosai. Mereka tumbuh subur seiring banyaknya penyimpangan seks di kalangan pria Jepang.
Jelas pelacuran anak dan remaja melanggar hukum. Pelakunya dijerat dua pasal sekaligus UU antiprostitusi dan UU kesejahteraan anak. Usia dewasa di Jepang adalah 20 tahun.
Mengutip koran Nikkei, Richard menuliskan seorang gadis berusia 17 tahun harus melayani sedikitnya lima lelaki hidung belang yang menyukai anak kecil dan gadis remaja, setiap harinya.
Pelacuran anak di bawah umur ini sering disebut enjokosai. Mereka tumbuh subur seiring banyaknya penyimpangan seks di kalangan pria Jepang.
2. Ayam kampus ala Yakuza
Di Indonesia mahasiswi yang menjual diri disebut ayam kampus. Di
Jepang, banyak pula mahasiswi yang menjual diri. Para bandit Yakuza
dengan cerdik memanfaatkan biaya kuliah dan biaya hidup mahasiswi yang
tinggi.
Banyak mahasiswi terjerat prostitusi karena kesulitan ekonomi. Mereka kemudian menganggap menjadi PSK adalah pekerjaan profesional. Seperti bekerja kantoran saja, sehingga tak ada rasa penyesalan.
Tapi tidak selalu para mahasiswi ini selalu melayani urusan ranjang. Ada yang hanya menemani tamu pria di karaoke, teman kencan, hingga foto model seksi.
Sekali mengencani mahasiswi tarifnya rata-rata 20.000 yen atau Rp 2 juta sekali kencan.
Banyak mahasiswi terjerat prostitusi karena kesulitan ekonomi. Mereka kemudian menganggap menjadi PSK adalah pekerjaan profesional. Seperti bekerja kantoran saja, sehingga tak ada rasa penyesalan.
Tapi tidak selalu para mahasiswi ini selalu melayani urusan ranjang. Ada yang hanya menemani tamu pria di karaoke, teman kencan, hingga foto model seksi.
Sekali mengencani mahasiswi tarifnya rata-rata 20.000 yen atau Rp 2 juta sekali kencan.
3. Pijat plus-plus
Mafia Jepang pun mengelola panti pijat. Seperti biasa, panti pijat
ini hanya kedok untuk masuk ke dalam sesi yang lebih intim, alias pijat
plus-plus.
Bulan April lalu, polisi menggerebek sebuah panti pijat Miko di daerah Kanda Tokyo. Menurut penyelidikan, panti pijat itu sudah meraup keuntungan 100 juta yen atau Rp 10 miliar selama tiga tahun terakhir.
Tarif pijat di sana 11.000 yen atau Rp 1,1 juta untuk satu jam. Dua jam meningkat jadi 18.000 yen atau Rp 1,8 juta. Makin banyak variasi, makin mahal.
Menurut Richard, mengutip sumber di kepolisian, makin banyak tempat seperti ini bermunculan. Sejak Bulan Februari 2012, di daerah Kanda, polisi menggerebek lima tempat seperti ini.
Bulan April lalu, polisi menggerebek sebuah panti pijat Miko di daerah Kanda Tokyo. Menurut penyelidikan, panti pijat itu sudah meraup keuntungan 100 juta yen atau Rp 10 miliar selama tiga tahun terakhir.
Tarif pijat di sana 11.000 yen atau Rp 1,1 juta untuk satu jam. Dua jam meningkat jadi 18.000 yen atau Rp 1,8 juta. Makin banyak variasi, makin mahal.
Menurut Richard, mengutip sumber di kepolisian, makin banyak tempat seperti ini bermunculan. Sejak Bulan Februari 2012, di daerah Kanda, polisi menggerebek lima tempat seperti ini.
4. Sushi di atas tubuh wanita
Ini gaya jamuan tak lazim di mana makanan dihidangkan di atas tubuh
wanita nirbusana. Untuk dapat layanan seperti ini, setiap orang kena
tarif 15.000 yen atau Rp 1,4 juta.
Gaya makanan seperti ini disebut nyotaimori. Hal ini dilarang di Jepang, tapi para Yakuza menjalankannya di tempat prostitusi yang mereka kelola.
Kalangan pimpinan Yakuza menikmati nyotaimori sambil minum minuman keras. Mereka juga ditemani para wanita yang siap memberikan pelayanan.
Awalnya cuma mengobrol, lalu bisa saja para pelanggan meminta wanita-wanita itu melepaskan baju.
Dalam enam bulan, mereka mengantongi keuntungan 220 juta yen atau Rp 22 miliar. Jika dihitung, rata-rata setiap pelanggan mengeluarkan biaya sekitar Rp 2,7 juta setiap melakukan live chatting.
Gaya makanan seperti ini disebut nyotaimori. Hal ini dilarang di Jepang, tapi para Yakuza menjalankannya di tempat prostitusi yang mereka kelola.
Kalangan pimpinan Yakuza menikmati nyotaimori sambil minum minuman keras. Mereka juga ditemani para wanita yang siap memberikan pelayanan.
5. DVD porno
Di Jepang, salah satu sumber dana Yakuza adalah pelacuran dan bisnis DVD porno.
Dari DVD Porno saja penghasilan per bulan minimal 3 juta yen, atau sekitar Rp 300 jutaan dari satu toko. Sabtu 12 April 2013, polisi menggerebek tiga orang penjual DVD porno di daerah Toshima Ikebukuro, Tokyo. Polisi menyita 20.000 piringan cakram DVD porno.
Film porno di Jepang sebenarnya diperbolehkan alias legal. Syaratnya, alat kelamin harus disensor atau diburamkan. Produser film wajib menyensornya sendiri sebelum diedarkan.
Nah, Yakuza tak mau menyensor DVD porno. Inilah yang membedakan film mereka dengan yang legal. Mereka pun tak jera beroperasi walau sudah digerebek.
Dari DVD Porno saja penghasilan per bulan minimal 3 juta yen, atau sekitar Rp 300 jutaan dari satu toko. Sabtu 12 April 2013, polisi menggerebek tiga orang penjual DVD porno di daerah Toshima Ikebukuro, Tokyo. Polisi menyita 20.000 piringan cakram DVD porno.
Film porno di Jepang sebenarnya diperbolehkan alias legal. Syaratnya, alat kelamin harus disensor atau diburamkan. Produser film wajib menyensornya sendiri sebelum diedarkan.
Nah, Yakuza tak mau menyensor DVD porno. Inilah yang membedakan film mereka dengan yang legal. Mereka pun tak jera beroperasi walau sudah digerebek.
6. Live chatting dengan anak kecil
Perkembangan internet juga membuat Yakuza melirik bisnis live chatting mesum. Mereka menyiapkan jaringan internet dimana para pria hidung belang bisa mengobrol dengan gadis-gadis di bawah umur.
Awalnya cuma mengobrol, lalu bisa saja para pelanggan meminta wanita-wanita itu melepaskan baju.
Dalam enam bulan, mereka mengantongi keuntungan 220 juta yen atau Rp 22 miliar. Jika dihitung, rata-rata setiap pelanggan mengeluarkan biaya sekitar Rp 2,7 juta setiap melakukan live chatting.
No comments:
Post a Comment