Posted by Unknown at 5:37 AM
Read our previous post
Kemarin, hari pertanian sedunia diperingati. Di Indonesia, peringatan hari tani sedunia diwarnai dengan berbagai aksi. mereka menuntut pemerintah untuk lebih memikirkan nasib para petani.
Seperti yang kemarin berlangsung di Bandung. Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Agraria, menggeruduk kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Gedung Sate, Bandung, menyuarakan aspirasinya.
Sangat ironis, di negeri agraris seperti Indonesia, para petani malah jauh dari sejahtera. Berikut berbagai ironi Indonesia, sebagai negeri agraris.
1. Petani makin miskin
Hari Tani Sedunia seharusnya menjadi momen istimewa bagi petani di
Indonesia. Tapi ironis, kini nasib petani jauh dari kata sejahtera.
Pemerintah tidak pernah berpihak kepada mereka.
Hal itu terbukti ketika hampir 60 persen masyarakat Indonesia hidup di sektor pertanian, tapi angka kemiskinan Indonesia sekitar 60 persen dan itu adalah petani yang tersebar di pedesaan.
Karenanya mereka yang berasal dari berbagai elemen buruh di Jawa Barat, beserta mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Agraria, kemarin menggeruduk kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Gedung Sate, Bandung.
Mereka menolak monopoli penguasaan tanah skala besar yang menyengsarakan rakyat. Menurut Sekjen Serikat Tani Pasundan, Agus Tiana, saat ini kondisi pembangunan ekonomi yang bertumpu pada penguasaan tanah skala besar serta lemahnya peran pemerintah dalam menyelesaikan konflik agraria menjadi penyebab utama tingginya angka kemiskinan masyarakat pedesaan.
"Pertumbuhan alih fungsi lahan pertanian dan hutan, alih pekerjaan petani membuat kian terpuruk," katanya di sela aksi, Selasa (24/9).
Karenanya mereka mendesak agar tanah yang kini terbengkalai dan disalahgunakan penggunaannya bisa dilakukan pemanfaatannya oleh petani. "Hentikan juga alih fungsi lahan tanah yang merusak daya dukung lingkungan dan sektor pertanian," terangnya.
"Jumlah petani yang memiliki lahan pertanian terus berkurang. Penguasaan lahan pertanian hanya berkutat pada segelintir orang, kami ingin ingatkan kembali kepada pemegang kekuasaan mengenai mandat UU Agraria untuk menyejahterakan rakyat agraria," kata Sekjen Serikat Tani Pasundan, Agus Tiana .
"Kami kampanyekan kesadaran publik di mana kaum tani kita seperti itu. Dan masyarakat yang tidak kerja di sektor pertanian yang sebenarnya sangat tergantung pada keberadaan kaum tani, lewat aksi ini tersadarkan, karena kesadaran ini makin pudar," imbuhnya menambahkan.
"Presiden kita adalah doktor di bidang pertanian, tapi tidak bisa menyejahterakan petani," kata Alvin Lie di sela-sela kunjungannya ke redaksi merdeka.com, Selasa (24/9) kemarin.
Alvin silaturahmi ke kantor merdeka.com ditemani oleh tim dari Rumah Inspirasi Partai Amanat Nasional (PAN) yakni Bara Hasibuan, Clara Tampubolon dan Juanita Tirayoh.
Alvin mengatakan, para petani saat ini belum bisa mendapatkan penghasilan yang layak dari jerih payahnya. Ini diperparah lagi dengan minimnya rasa bangga sebagai petani, lantaran adanya stigma yang masih menganggap petani sebagai bagian dari masyarakat kelas bawah.
"Sebagian besar mereka bukan petani, tapi buruh tani," ujarnya.
Hal itu terbukti ketika hampir 60 persen masyarakat Indonesia hidup di sektor pertanian, tapi angka kemiskinan Indonesia sekitar 60 persen dan itu adalah petani yang tersebar di pedesaan.
Karenanya mereka yang berasal dari berbagai elemen buruh di Jawa Barat, beserta mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Agraria, kemarin menggeruduk kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Gedung Sate, Bandung.
Mereka menolak monopoli penguasaan tanah skala besar yang menyengsarakan rakyat. Menurut Sekjen Serikat Tani Pasundan, Agus Tiana, saat ini kondisi pembangunan ekonomi yang bertumpu pada penguasaan tanah skala besar serta lemahnya peran pemerintah dalam menyelesaikan konflik agraria menjadi penyebab utama tingginya angka kemiskinan masyarakat pedesaan.
"Pertumbuhan alih fungsi lahan pertanian dan hutan, alih pekerjaan petani membuat kian terpuruk," katanya di sela aksi, Selasa (24/9).
Karenanya mereka mendesak agar tanah yang kini terbengkalai dan disalahgunakan penggunaannya bisa dilakukan pemanfaatannya oleh petani. "Hentikan juga alih fungsi lahan tanah yang merusak daya dukung lingkungan dan sektor pertanian," terangnya.
2. Jumlah petani dan lahan pertanian terus berkurang
Akibat tidak ada kejelasan nasib petani, banyak petani yang beralih profesi. Mereka beralih profesi menjadi pekerja-pekerja serabutan yang menghasilkan uang dalam waktu instan. Lahan pertanian pun kian menyusut."Jumlah petani yang memiliki lahan pertanian terus berkurang. Penguasaan lahan pertanian hanya berkutat pada segelintir orang, kami ingin ingatkan kembali kepada pemegang kekuasaan mengenai mandat UU Agraria untuk menyejahterakan rakyat agraria," kata Sekjen Serikat Tani Pasundan, Agus Tiana .
"Kami kampanyekan kesadaran publik di mana kaum tani kita seperti itu. Dan masyarakat yang tidak kerja di sektor pertanian yang sebenarnya sangat tergantung pada keberadaan kaum tani, lewat aksi ini tersadarkan, karena kesadaran ini makin pudar," imbuhnya menambahkan.
3. SBY doktor pertanian, tapi tak bisa sejahterakan petani
Menurut politikus Partai Amanat Nasional, Alvin Lie, wajar jika banyak masyarakat yang demo menuntut kesejahteraan para petani. Sebab selama ini, Presiden SBY sebagai kepala pemerintahan yang notabene adalah doktor di bidang pertanian, belum bisa menyejahterakan para petani."Presiden kita adalah doktor di bidang pertanian, tapi tidak bisa menyejahterakan petani," kata Alvin Lie di sela-sela kunjungannya ke redaksi merdeka.com, Selasa (24/9) kemarin.
Alvin silaturahmi ke kantor merdeka.com ditemani oleh tim dari Rumah Inspirasi Partai Amanat Nasional (PAN) yakni Bara Hasibuan, Clara Tampubolon dan Juanita Tirayoh.
Alvin mengatakan, para petani saat ini belum bisa mendapatkan penghasilan yang layak dari jerih payahnya. Ini diperparah lagi dengan minimnya rasa bangga sebagai petani, lantaran adanya stigma yang masih menganggap petani sebagai bagian dari masyarakat kelas bawah.
"Sebagian besar mereka bukan petani, tapi buruh tani," ujarnya.
4. Tingkat urbanisasi tinggi
Lantaran hidup di desa tidak menjanjikan, banyak masyarakat yang
akhirnya pindah ke kota dengan harapan bisa mengubah nasib. "Ini yang
menyebabkan urbanisasi. Gimana kalau di desa nggak ada kerjaan, ya ke
kota," kata politikus PAN Alvin Lie.
Alvin mengaku sering keliling Indonesia. Di sela-sela kunjungannya tersebut, dia sering melihat para petani yang masih menggunakan cara-cara lama dalam mengolah lahan. Hampir tak ada perbedaan cara bertani 20 tahun lalu dengan sekarang.
"Saya sering terbang ke mana-mana, saya melihat cara kerja petani kita dengan cara kerja petani 20 tahun lalu tidak ada kemajuan. Demikian juga nelayan," imbuhnya.
Alvin mengaku sering keliling Indonesia. Di sela-sela kunjungannya tersebut, dia sering melihat para petani yang masih menggunakan cara-cara lama dalam mengolah lahan. Hampir tak ada perbedaan cara bertani 20 tahun lalu dengan sekarang.
"Saya sering terbang ke mana-mana, saya melihat cara kerja petani kita dengan cara kerja petani 20 tahun lalu tidak ada kemajuan. Demikian juga nelayan," imbuhnya.
No comments:
Post a Comment